Sunday, March 19, 2017

dhia si jomblo

hubungan dhia dengan si fulan

Khurtah dan Sarung

Pertama kali menginjakkan kaki di bumi Ali Jinnah ini, ada pemandangan yang membuat saya takjub, banyak sekali orang-orang menggunakan khurtah atau baju gamis di jalan-jalan. Orang-orang berdagang di pasar, orang-orang yang berlalu lalang, yang sedang kerja berjibaku dengan beratnya pekerjaan, dan semua itu tidak  mempengaruhi mereka untuk tetap menggunakan khurtah atau gamis.
Menurut pandangan saya waktu itu orang yang memakai gamis itu terkesan sederhana, alim, relijius, dan bersahaja. Entah dari mana kesan saya itu terbangun tapi itulah yang ada di pikiran saya waktu itu. Mungkin itu disebabkan karena rata rata orang yang bergamis atau berkhurtah di Indonesia itu para ustadz, atau setidaknya orang-orang alim. Sebenarnya kalau membahas tentang benar dan salah, hal ini masih sangat dipertanyakan, tapi kali ini saya membahas tentang kesan yang ada di benak saya, opini yang telah terbangun tentang orang yang memakai baju gamis itu.
Belakangan saya baru tau sendiri, ternyata khurtah atau baju gamis adalah pakaian adat orang Pakistan, mau orang miskin atau orang kaya, orang kampung di pelosok desa atau di kota, rakyat si tukang pemotong rumput atau Prime minister, islam atau Kristen, semuanya terlibat dalam penggunaan khurtah ini. Saya jadi teringat dengan sarung di Negaraku, mungkin bisa di pastikan tiap orang lelaki akan memiliki sarung, baik itu presiden atau rakyat jelata, hampir semuanya tidak terlepas dari sarung.
Menurutku khurtah itu tidak simpel, sangat tidak praktis untuk bergerak, khawatir robek jika terlalu banyak bergerak, sehingga ia akan pantas saja kalau digunakan untuk ke masjid, atau acara acara resmi yang tidak membutuhkan banyak gerak, tapi kalau dipakai bekerja, olah raga? Logika saya masih belum bisa menerima, lagi pula khurtah itu setingan dari bahan kain yang dijahit laiknya baju resmi.
Beda dengan sarung yang setingannya benar benar simpel, resmi bisa santai bisa, tergantung orangnya mau digunakan seperti apa, orang sepulang dari masjid malam hari tanpa pulang langsung ke cakruk untuk ronda, maka sarung bisa tinggal dislempangkan di pundak, atau bisa di gunakan buat selimut, atau alas tidur, atau para nelayan yang bahkan ketika pulang pergi ke laut bawa sarungnya, bisa di ikat di pinggangnya, bisa juga di slempangkan. Sarung juga bisa digunakan membawa bekal dengan mengikat ujung ujungnya secara berlawanan. Bahkan, ketika masih kecil dulu, ada keterampilan bagaimana bermain menggunakan sarung, termasuk bagaimana menakut nakuti teman dengan penampilan pocong ala sarung

Tapi itulah asyiknya beda budaya. Bagiku yang tak pernah berpisah dengan sarung sejak kecil, itu adalah penting, bagi orang yang belum pernah berkenalan dengan sarung, itulah nasib mereka, tidak pernah tahu bagaimana betapa asyiknya menggunakan sarung. Khurtah? Mungkin orang Pakistan pun berpendapat demikian.